Kamis, 15 November 2018

UPAYA SANTRI DI PONDOK PESANTREN DALAM MENGHADAPI BUDAYA DI ERA MILLENIAL

Karya : Nur Fadilah Rusli

Seperti yang kita semua ketahui bahwa saat ini generasi millenial sudah hadir ditengah-tengah kita. Generasi ini adalah generasi yang lahir pada era 80-90an. Generasi ini identik dengan karakter berani, inovatif, kreatif dan modern. Generani Y (millennial) tidak hanya unggul dibidang teknologi dan pengetahuan akan tetapi juga unggul dalam bidang  sosial dan politik. Di era globalisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring berkembang pesatnya teknologi yang berbasis digital application para generasi millennial sangat rentan akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media sosial. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti aneka ragam kreasi budaya lingkungan, alam dan wilayahnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini bisa dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, bisa dikatakan pula adanya kelompok masyarakat di Indonesia dapat berkembang keseniannya yang sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model- model pengetahuan dalam masyarakat.
            Pendidikan Islam Indonesia menampakkan ciri khas di dunia muslim. Mulai dari madrasah sampai pada pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat unik, karena di dalamnya telah tercakup tiga sistem pendidikan sekaligus, yakni pendidikan formal, informal dan non formal. Dapat dikatakan bahwa pesantren telah melaksanakan sistem pendidikan 24 jam. Sistem pendidikan terpadu tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi keberhasilan proses transformasi keilmuan terhadap peserta didik/santri. Pondok pesantren mempunyai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kepemimpinan kiai dengan ciri khas yang bersifat independen dalam segala hal.
            Pondok pesantren pada dasarnya memiliki fungsi meningkatkan kecerdasan bangsa, baik ilmu pengetahuan, keterampilan maupun moral. Namun fungsi kontrol moral dan pengetahuan agamalah yang selama ini melekat dengan sistem pendidikan pondok pesantren.
Fungsi ini juga telah mengantarkan pondok pesantren menjadi institusi penting yang dilirik oleh semua kalangan masyarakat dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan derasnya arus informasi di era globalisasi. Apalagi, kemajuan pengetahuan pada masyarakat modern berdampak besar terhadap pergeseran nilai-nilai agama, budaya dan moral. Pondok pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang yang dikenal dengan pondok Njoso  saat ini telah berkembang pesat. Pesantren yang dulunya masih belum begitu luas saat ini telah mencapai puluhan hektar dengan 13 unit pendidikan sekolah dan 31 asrama untuk santri putra-putri. Mulai dari sekolah PAUD sampai dengan perguruan tinggi yang diberi nama UNIPDU dan UNDAR dimana wilayahnya berada  diluar lingkup PP Darul Ulum itu sendiri. Banyak perubahan dan pengembangan dalam sarana prasarana, infrastruktur maupun metode pendidikannya. Berbagai perkembangan dan perubahan tersebut berhubungan erat dan merepresentasikan budaya organisasi yang terbangun di dalamnya. Budaya organisasi merupakan gaya dan cara hidup dari suatu organisasi yang merupakan cerminan dari nilai-nilai atau kepercayaan yang dianut oleh seluruh organisasi. Budaya organisasi merupakan cerminan pola kepercayaan, nilai-nilai serta mitos para anggota suatu organisasi yang sebagian besar akan mempengaruhi terhadap sebagian besar aspek kehidupan organisasi. Mengenali budaya organisasi menjadi sesuatu yang menarik sekaligus penting, sebab pemahaman terhadap budaya organisasi suatu kelompok dapat membantu mengidentifikasi karakteristik  kelompok tersebut.
            Seiring dengan dinamika umat Islam Indonesia saat ini pesantren harus berjuang untuk membersihkan diri dari tuduhan sebagai tempat yang mengajarkan terorisme. Jika disini menyinggung tentang terorisme bisa dilihat dari cara berpakaian seorang wanita bercadar. Diluar negeri khususnya Amerika Serikat tidak mempercayai orang yang memakai pakaian berjubah dengan menutupi wajah yang hanya terlihat kedua mata karena mereka dianggap seorang teororis. Akan tetapi di Indonesia wanita bercadar sangat disegani karena mereka telah menutupi aurotnya dari ujung kepala hingga kaki termasuk raut wajahnya agar terhindar dari fitnah. Ada beberapa pondok pesantrren di Indonesia yang mewajibkan hal itu namun sebagian juga ada yang melarangnya. Hal itu karena pengaruh dari budaya TIMUR TENGAH yang dibawa ke Indonesia dan  sebagian besar  mayoritas disana memakai cadar.
            Pesantren yang pola kehidupannya berbentuk asrama (boarding) memungkinkan bagi para santrinya yang berasal dari berbagai daerah saling bertukar pengalaman tentang budaya mereka. Sebagaimana hal yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, Menempatkan para santrinya tidak didasarkan asal daerah mereka, melainkan didasarkan pada dinamika kehidupan di dalam pesantren. Penempatan santri di asrama-asrama tidak bersifat permanen, maksudnya santri tidak menetap dalam satu kamar atau asrama selama hidup di pesantren, tetapi setiap tahun dilakukan perpindahan asrama; santri pindah dari satu asrama ke asrama lainnya, dan di setiap semester di adakan perpindahan kamar dalam satu asrama.
            Hal ini bertujuan agar para santri mengenal banyak kawan dan mengetahui berbagai tradisi dan budaya santri dari berbagai daerah. Selain itu, perpindahan santri dalam pesantren juga bertujuan agar para santri dapat melebur semangat kedaerahan ke dalam semangat yang lebih universal dan mau belajar tentang kehidupan bermasyarakat dalam arti lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional dengan adanya santri yang berasal dari mancanegara. Pesantren mampu mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang berkembang berabad-abad Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Yang perlu ditegaskan disini bahwa modeling -mengikuti prilaku seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Di daerah Jawa, secara sejarah Walisongo merupakan pemimpin bagi kaum santri dan teladan bagi kehidupan bermasyarakat. Sebagai teladan dan pemimpin kaum muslim, Walisongo tentu berkiblat pada pemimpin bagi kaum muslim pada umumnya yakni Nabi Muhammad SAW. Sebagai teladan bagi kaum muslim, Walisongo mempunyai kekuatan modeling yang didukung dan sejalan dengan value system yang sudah mengakar pada budaya Jawa. Menurut Abdurrahman Mas’ud,  “Model Walisongo dalam berkiprah di masyarakat Jawa, yang kemudian hari menjadi inspirasi bagi para ulama untuk menunjukkan integritasnya dalam mendampingi masyarakat menjalankan kehidupan beragama. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideology dan kesejarahan”. Model pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Walisongo yang diperuntukkan bagi masyarakat Jawa dapat dilihat pada rekayasa mereka dalam mendirikan pesantren. Pendidikan yang merakyat dan bersumber dari budaya lokal tanpa menghancurkan budaya yang telah berkembang di masyarakat merupakan contoh bagaimana Walisongo mengembangkan model pendidikan di pesantren. Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Ponalakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kyai-kyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian pemimpin Islam berlatar belakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijak sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok ”oposan” adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa dipahami jika pesantren-pesantren besar di Jawa selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan sejarah serta mempertahankan budaya lokal.  Pendidikan di pesantren mengajarkan tentang pentingnya mempertahankan tradisi Islam tanpa harus membenturkannya dengan budaya yang berkembang di masyarakat. Model kehidupan yang demikian, diajarkan oleh ikon pesantren yakni Walisongo. Melalui kearifan dan pendekatan yang digunakan oleh Walisongo dalam mendakwahkan Islam di Jawa, dapat menghadirkan warna tradisi Islam yang sensitif terhadap budaya lokal. Globalisasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menganjurkan pentingnya penghargaan terhadap perbedaan. Namun demikian globalisasi ternyata juga melahirkan budaya homogenisasi yang dihembuskan oleh Negara Barat terhadap negara berkembang. Pesantren sebagai bagian dari system pendidikan nasional Indonesia, mempunyai tradisi menghargai budaya yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan di pesantren yang berbentuk asrama (boarding), sangat memungkinkan para santri untuk saling belajar tentang budaya yang berkembang dari daerah masing-masing. Dengan pola yang demikian, melalui pendidikan di pesantren para santri dapat meleburkan dirinya dalam pola berfikir yang bersifat universal tidak terbatas pada nilai-nilai yang berkembang dalam suatu wilayah namun melalui pola fikir lintas batas, sehingga sikap kefatikan kedaerahan yang bersifat primordial dapat diminimalisir melalui kegiatan pendidikan di pesantren. Sastrapratedja menjelaskan bahwa pendidikan multikultural bukanlah obat yang menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi pendidikan multikultural dapat menjanjikan trasformasi masa depan, keadilan dan persamaan bagi semua kelompok sosial dan budaya. Salah satu masalah penting yang melingkupi praksis pendidikan di Indonesia adalah masalah pemerataan, persamaan dan keadilan. Praksis pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik, masalah diskriminasi, etnisitas dan kedaerahan, akhir-akhir ini justru semakin mengarah kepada primordial yang membahayakan. Otonomi daerah yang seharusnya dijadikan sebagai pendekatan dalam mengoptimalkan peran pendidikan yang berbasis kebutuhan daerah, ada kecenderungan disalahartikan oleh segelintir pejabat, sehingga malah merusak ide-ide pendidikan multikultural. Politik kebangsaan yang multikultural mestinya
memberikan ruang bagi berkembangnya semangat menghargai perbedaan dan keragaman yang sesuai dengan filsafat Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Eka. Pesantren memiliki dua peran, yaitu peran internal dan eksternal. Peran internal pesantren berhubungan dengan kegiatan pembelajaran santri dan peran eksternalnya berhubungan dengan kiprah pesantren di lingkungan masyarakat. Sejalan dengan kehidupan masyarakat yang terus berkembang, pesantren pun bermetamorfosis menjadi lembaga yang kooperatif terhadap kemajuan iptek dan budaya masyarakat modern. Proses ini membuat pesantren berkembang dari model salaf menjadi khalaf atau modern. Pesantren di era globalisasi harus mampu mendesain kurikulum yang berbasis kebutuhan pasar sehingga menghasilkan outcomes yang mudah terserap lapangan kerja dan mampu menjawab tantangan zaman. Tantangan modernitas yang paling berat adalah pergeseran nilai dan moral yang bersumber dari arus globalisasi dan tingginya angka konsumerisme danketergantungan masyarakat terhadap produk teknologi modern. Maka, pesantren masa kini setidaknya memiliki beberapa ciri, di antaranya: ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbasis penguatan agama dan moral, serta toleransi dan pluralisme.
            Adapun tradisi pesantren yang tidak hanya memiliki satu preferensi untuk menilai fenomena di luar pesantren, terbentuk dari paradigma kajian yang ada di pondok pesantren. Diakui atau tidak, pondok pesantren merupakan pasar dari semua madzhab, landasan pemikiran keislaman, hingga pada proses pertarungan ideologisasi keislaman. Tentu, kebiasaan pesantren mendiskusikan persoalan kekinian selalu dikontekskan pada cara berfikir yang berbasis pada kitab kuning dan pandangan ulama’-ulama’ salaf. Namun, pada proses pelaksanaanya, para kyai umumnya, mencari format baru model penyampaian (dakwah) yang lebih elegan dan sesuai dengan bahasa-bahasa masyarakat sekitar. Para kyai, akan sangat sulit memahami diskursus toleransi yang dimaktub oleh akademisi. Tapi, mereka tahu bahwa subtansi dari toleransi adalah memahami perbedaan dan menghargai apapun yang terjadi di dalam masyarakat sebagai bentuk takdir ilahi yang tidak bisa diganggu gugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar