Senin, 05 September 2022

PERMASALAHAN KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL YANG TERJADI DI PERGURUAN TINGGI

 Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan  terjadi terutama di universitas. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan antara tahun 2015 hingga 2021, terdapat 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di bidang pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah adalah kekerasan seksual dengan angka 87,91%, kekerasan psikis dan diskriminasi sebesar 8,8%. Setelah itu, kekerasan fisik 1,1%. Perguruan tinggi menduduki peringkat pertama untuk kekerasan seksual sekolah dengan 35 kasus antara tahun 2015 dan 2021. Kasus kekerasan seksual di wilayah pendidikan mengalami hambatan  dalam mencari keadilan dan menangani korban. Hal ini disebabkan oleh hubungan kekuasaan yang kuat dari para aktor. Di sisi lain, masyarakat  lebih mempercayai otoritas ilmiah dan agama daripada korban. Belum lagi lambatnya respon lembaga pendidikan terhadap kasus kekerasan seksual karena demi menjaga nama baik lembaga, korban semakin  tak berdaya. Hambatan-hambatan ini seringkali membuat korban kekerasan seksual di sekolah curiga ketika membicarakan pengalamannya (Andriansyah, 2022).

Menurut Perkemendikbud Ristek  No. 30 Tahun 2021 Pasal 1 (1) Kekerasan seksual merupakan perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk mengganggu kesehatan repoduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kekerasan seksual dalam bentuk apapun merupakan manifestasi dari kekerasan seksual di perguruan tinggi harus disikapi dengan tepat, karena perguruan tinggi adalah tempat menimba ilmu, jika kekerasan perjumpaan seksual dengan mahasiswa sangat mungkin menimbulkan krisis. bagi mahasiswa yang menjadi korban, sehingga perguruan tinggi yang dipimpin oleh korban tidak dapat berfungsi secara maksimal.

Dalam pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat muncul karena variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan tujuan kekuasaan. Jika ketiga faktor tersebut digabungkan, maka dapat menimbulkan intensi dalam kasus kekerasan seksual. Jika salah satu dari ketiganya tidak muncul, maka tidak akan terjadi kekerasan seksual. Oleh karena itu, ada beberapa penyebab munculnya kasus kekerasan seksual di kampus, khususnya sebagai berikut:

Budaya patriarki  mengakar kuat di Indonesia 

Keberadaan budaya patriarki menimbulkan prasangka tertentu terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual. Dalam model feminisme radikal, patriarki dipandang sebagai bentuk paling dasar dari represi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai harta milik laki-laki, yang harus dikelola sedemikian rupa, baik dalam perilaku maupun dalam berpakaian (Soejoeti dan Susanti, 2020). Lebih jauh, patriarki juga menempatkan perempuan secara tidak setara dalam struktur sosial. Klaim ini didukung oleh Fushshilat dan Apsari (2020) bahwa sistem sosial patriarki merugikan perempuan karena dianggap membenarkan pelecehan seksual. Dengan kata lain, perempuan seharusnya menjadi  objek imajinasi laki-laki.

Ada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual 

Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar dari pada korban. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban takut untuk melapor (Elindawati, 2021).

Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya

The Harvard Law School (HALT) Sexual Assault Community Advocacy dalam artikelnya "How to Avoid Victim Blaming" mengacu pada korban menyalahkan sebagai sikap atau perilaku yang menunjukkan bahwa korban daripada agresor, diminta untuk lebih bertanggung jawab atas perilaku agresif. . atau kekerasan itu terjadi dengan sendirinya. Menyalahkan korban menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan belum dilihat sebagai masalah sosial. Individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga dirinya sendiri dan bekerja untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada dirinya.

Kekerasan seksual bukanlah masalah yang hanya dapat dipahami dari penyebab dan pengobatannya, tetapi penting bagi kita untuk memahami tantangan yang ada untuk mengelolanya. Berikut  beberapa penyebab minimnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus: 

 1. Mahasiswa masih belum memahami konsep kekerasan seksual 

 2. Minimnya pemberitaan kekerasan seksual. 

 3. Kampus ini meliput kasus kekerasan seksual.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30  Tahun  2021  dijelaskan,  kekerasan  seksual  mencakup  tindakan  yang  dilakukan secara  verbal,  nonfisik,  fisik,  dan  atau  melalui  teknologi  informasi  dan  komunikasi. Adapun 21 tindakan yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual bisa berupa:

Menyampaikan  ujaran  yang  mendiskriminasi  atau  melecehkan  tampilan  fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;

Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

Menyampaikan  ucapan  yang  memuat  rayuan,  lelucon,  dan/atau  siulan  yang bernuansa seksual pada Korban;

Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;

Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;

Mengambil,   merekam,   dan/atau   mengedarkan   foto   dan/atau   rekaman   audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

Menyebarkan  informasi  terkait  tubuh  dan/atau  pribadi  Korban  yang  bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;

Membujuk,  menjanjikan,  menawarkan  sesuatu,  atau  mengancam  Korban  untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

Menyentuh,   mengusap,   meraba,   memegang,   memeluk,   mencium   dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

Mempraktikkan    budaya    komunitas    Mahasiswa,    Pendidik,    dan    Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;

Melakukan  perkosaan  termasuk  penetrasi  dengan  benda  atau  bagian  tubuh  selain alat kelamin;

Memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;

Memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;

Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau

Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya


Pencegahan tindakan kekerasan seksual juga sudah tercantum dalam Permendikbud nomor 30 tahun 2021 pasal 6 yang menjelaskan tentang kewajiban perguruan tinggi melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui : 

Pembelajaran

Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.

Penguatan tata kelola. Yang dimaksud adalah :

merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi; 

membentuk Satuan Tugas; 

menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; 

membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus; 

menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual; 

melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; 

melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus;

memasang tanda informasi yang berisi: 

pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan 

peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan Seksual; 

menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; dan 

melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan

Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada kegiatan: 

pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan; 

organisasi kemahasiswaan; dan/atau 

jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Perlindungan bagi korban tindak kekerasan seksual saat ini sudah diatur dalam Undang - Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada Selasa, 12 April 2022. Kasus–kasus kekerasan seksual yang terjadi di sejumlah daerah menjadi fenomena gunung es karena banyak kasus yang tidak terselesaikan. Minimnya pengetahuan  tentang  pendidikan  seksual  kepada  anak  seringkali  mengakibatkan terjadinya kasus kekerasan seksual. Hal penting yang disampaikan dalam UU TPKS adalah:

Penyidik tidak boleh menolak perkara;

Tidak adanya restorative justice;

Barang bukti dapat dijadikan alat bukti;

Kewajiban restitusi;

Pengklasifikasikan jenis kekerasan seksual;6.Pengakuan dan jaminan hak korban

Dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual di bidang pendidikan khususnya di tingkat perguruan tinggi sebagai bentuk perlindungan hukum, berdasarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan Undang-Undang Kekerasan Seksual Tahun 2013. 2022, dapat dipimpin oleh peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan dalam mencegah kekerasan seksual melalui pembelajaran. , memperkuat tata kelola dan memperkuat budaya komunitas siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. 

  Atas dasar maksimalisasi hasil, partisipasi aktif dan tulus dari pejabat pendidikan tinggi, mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan  diperlukan  untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kesadaran kamar.Pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia pendidikan memiliki perspektif yang  luas dan membutuhkan pelatihan, orientasi dan penilaian, untuk meningkatkan pemahaman dan pemahaman yang lebih baik tentang pencegahan, perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual dalam pendidikan untuk menciptakan dunia pendidikan  yang nyaman, aman dan berkualitas.